Pemilik CV Kaytama Yudi Eko Santosa (tengah) yang merupakan UMKM binaan BNI Xpora saat ditemui di tempat pengumpulan kayu miliknya di Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (27/1/2024).
Teraspojok.com, CIAMIS — Ketegangan di Laut Merah kini masih berlangsung. Bahkan saat ini upaya Amerika Serikat (AS) meminta China mendesak Teheran untuk mengendalikan kelompok Houthi di Yaman yang menyerang kapal-kapal komersial di Laut Merah tidak membuahkan hasil.
Ketegangan yang masih berlangsung hingga kini ternyata berdampak kepada sejumlah pengiriman barang yang melewati Laut Merah. Salah satunya perusahaan perdagangan asal Kabupaten Banjarnegara, Ciamis, Jawa Barat, yakni CV Kaytama. Ekportir beragam barang jadi kayu tersebut merasakan dampak dari ketegangan di Laut Merah.
“Saya terkena dampak karena proses pengiriman kargo saya ke Laut Merah harus berputar ke Tanjung Harapan, Benua Afrika,” kata Yudi saat ditemui di Ciamis, Sabtu (27/1/2024).
Akibatnya, Yudi mengungkapka, biaya logistik jadi membengkak. Untuk rata-rata 40 feet kontainer yang seharusnya memiliki biaya logistik sekitar 1.550 dolar AS bertambah menjadi sekitar 7.200 dolar AS.
“Ini bukan naik lagi biayanya tapi ganti harga,” ucap Yudi.
Dia menjelaskan, rute kargo terpaksa harus memutar karena kapal yang melewati Laut Merah harus melewati Selat Hornuz yang masuk wilayah Yaman. Sementara di titik tersebut terjadi ketegangan kelompok Houthi.
“Makanya kapal pengiriman kita harus melewati Tanjung Harapan ke Benua Afrika memutar. Bedanya bisa 68 ribu kilometer. Jadi misal saya pengiriman 6 November harusnya sampai 22 Desember 2023 tapi baru sampai 18 Februari 2024,” kata Yudi menjelaskan
Tak hanya itu, Yudi mengungkapkan selain biaya logistik yang naik juga terdapat penurunan omzet akibat ketegangan di Laut Merah. Banyak pembeli yang memilih untuk membatalkan pembelian karena naiknya biaya kirim tersebut.
“Pembeli cancel karena harus hitung ulang. Biaya mereka sudah kalkulasi tiba-tiba naik. Ya otomatis kita ada penurunan kinerja omzet. Penurunan bisa hampir lebih 60 persen,” ungkap Yudi.
Terlebih, barang ekspor berupa kayu jadi yang ia ekspor tidak bisa berlama-lama disetok. Finishing produk kayu tidak bisa bertahan lama karena akan terjadi penyusutan ukuran setelah tiga bulan.
Meskipun begitu, Yudi memastikan ia tetap memilih untuk terus menyediakan stok kayu yang diekspor. “Karena proses kayu sampai finish produk butuh dua bulan. Jadi harus selalu stok ada yang siap. Pembeli kan kepengen cepat kalau dari proses nol mereka nunggu dua bulan mereka jadi nyari ke pemasok lain,” jelas Yudi.