Muhammad Dzaky Desnyto Putra
Politik | Sunday, 21 May 2023, 02:21 WIB
Memahami Hakikat Demokrasi
Kata demokrasi tersusun dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti kekuatan, sehingga kedua kata tersebut ketika digabung memlikiki arti kekuatan rakyat. Demokrasi sendiri sering dimaknai sebagai sebuah bentuk atau sistem pemerintahan yang menjadikan rakyatnya sebagai pemegang kehendak untuk menentukan dan menjalankan pemerintahan melalui para perwakilan. Menurut Harris Soche, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan rakyat yang di dalamnya terdapat porsi atau bagian bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan yang bertanggung jawab memerintah.
Lebih lanjut, terdapat satu pernyataan tentang hakikat atau definisi demokrasi yang berasal dari Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Abraham Lincoln mengungkapkan bahwa hakikat demokrasi sejatinya ialah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitu tersohornya perkataan Abraham Lincoln tersebut menjadikannya sebagai sebuah hakikat yang melekat bagi demokrasi di seluruh dunia.
Sayangnya, tidak semua orang paham maksud dari hakikat demokrasi yang diutarakan Lincoln tersebut. Kalimat pertama pada hakikat demokrasi Lincoln adalah “pemerintahan dari rakyat”. Makna dari kalimat tersebut adalah bahwa pemerintahan sebuah negara atau wilayah sudah seharusnya mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat sebagai bentuk keabsahan suatu pemerintah. Ketika sebuah pemerintahan mendapat legitimasi dari rakyatnya, maka hal tersebut dapat membantu kelancaran jalannya pemerintahan.
Selanjutnya, kalimat kedua yang menyebutkan bahwa “pemerintahan oleh rakyat”, memiliki arti bahwasannya pemerintahan berkuasa atas nama rakyat akan diawasi oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilannya. Montesque menyebut perwakilan tersebut sebagai lembaga legislatif, yang tugasnya adalah mengawasi pihak eksekutif dan merumuskan kebijakan umum bersama eksekutif. Selanjutnya, kalimat ketiga yaitu “pemerintahan untuk rakyat”, memiliki arti bahwa segala bentuk kekuasaan yang diberikan rakyat kepada pihak yang berkuasa atau pemerintah maka harus dijalankan demi kepentingan rakyat. Selain itu, rakyat juga harus dijamin kebebasannya, dalam hal ini kebebasan yang tidak mengganggu dan melanggar norma, sebagaimana prinsip demokrasi yang diungkapkan Aristoteles yaitu kebebasan.
Hakikat demokrasi dan beberapa kasus terakhir di Indonesia
Hakikat demokrasi yang diungkapkan Lincoln rupanya melenceng dan menjadi sebuah paradoks dalam realita kehidupan bernegara di Indonesia. Bagaimana tidak, demokrasi yang seharusnya terlihat sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” justru diterapkan menjadi “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat”. Parahnya lagi, hal tersebut menjadi sesuatu yang acap kali ditemui di negeri ini.Sebelumnya, perlu diketahui bahwa paradoks merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu paradoxon. Paradoxon memiliki arti pendapat atau asumsi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradoks ialah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Dalam kaitannya dengan pernyataan di paragraf sebelumnya, pernyataan umum yang dimaksud ialah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Pernyataan tersebut sejatinya telah dianggap sebagai suatu pernyataan umum, definisi, ataupun hakikat dari sebuah sistem demokrasi.
Sementara itu, pernyataan yang dianggap bertentangan dengan pernyataan umum tapi sesungguhnya mengandung kebenaran adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat”. Hal tersebut dianggap mengandung kebenaran di Indonesia karena dalam praktik ril nya, output sistem demokrasi yang seharusnya menguntungkan rakyat justru masih ada yang menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi pejabat maupun kelompok-kelompok tertentu.Hal yang disebutkan di atas bukanlah tanpa bukti. Bahkan bukti tersebut baru saja terjadi pada bulan Maret tahun ini dan menimbulkan kegeraman bagi masyarakat Indonesia.
Bagaimana tidak, seorang pejabat tinggi wilayah Direktorat Jendral Pajak berinisial R terjerat kasus gratifikasi. Kasus ini menjadi sorotan lantaran kasus sang anak yang melakukan penganiayaan terhadap orang lain berbuntut pada penelusuran kehidupan dan harta kekayaan sang pejabat oleh masyarakat. Berdasarkan hasil temuan masyarakat, banyak kejanggalan antara barang-barang mewah yang dimilikinya dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetornya. Hal tersebut membawa dugaan bahwa ia juga melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Akibat dari kasus ini, masyarakat pun berbondong-bondong menaruh curiga kepada pemerintah, terkhususnya pada Kementrian Keuangan dan Direktorat Jendral Pajak. Rakyat berpikir bahwasannya pajak yang dibayarkan oleh rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru digunakan untuk menyenangkan dan memperkaya kehidupan pejabat. Bahkan tidak sedikit dari masyarakat yang mengancam tidak akan membayar pajak lagi karena kehilangan rasa percaya pada pejabat pemerintah, terkhususnya pejabat pajak.
Kasus gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat tinggi wilayah Dirjen Pajak tersebut rupanya memunculkan kasus lain yang membuktikan bahwa terdapat paradoks hakikat demokrasi di Indonesia.Kasus tersebut merupakan pernyataan blunder dari seorang anggota DPR-RI dalam rapat Komisi III DPR bersama Ketua Komite Nasional Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang masih ada kaitannya dengan kasus gratifikasi pejabat Dirjen Pajak.
Dalam pernyataannya, anggota DPR berinisial B tersebut menyebutkan bahwa permintaan RUU (dalam hal ini RUU Perampasan Aset) yang dilayangkan oleh Ketua Komite Nasional Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan TPPU harus dilobi terdahulu melalui ketua umum partai. Pernyataan tersebut tentu seolah menunjukkan bahwa pembuatan ataupun perubahan undang-undang di DPR harus disetejui oleh ketua umum partai. Hal tersebut tentu dirasa aneh bagi sebagian besar rakyat, dimana seharusnya para wakil rakyat yang dipilih untuk mewakili kepentingan rakyat justru harus mendengarkan keinginan ketua umum partai.
Tidak masalah jika keinginan ketua umum partai tersebut sejalan dengan keinginan bersama rakyat. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika keinginan ketua umum partai tersebut hanya mementingkan segelintir individu atau kelompok. Sayangnya, rakyat sudah terlanjur menaruh prasangka buruk terhadap pernyataan anggota DPR tersebut karena dirasa menyalahi prinsip dan etika demokrasi.
Kekecewaan rakyat terhadap pejabat pemerintah tidak berhenti di situ saja. Seorang Tiktoker asal Lampung berinisial B, mengkritik kinerja Gubernur Lampung yang menurutnya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Sayangnya, kritik tersebut berujung dilaporkannya B ke polisi oleh pengacara Gubernur Lampung dan intimidasi kepada keluarga B, meskipun kemudian Gubernur Lampung membantah hal tersebut. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa Gubernur Lampung lupa atau bahkan tidak paham mengenai hakikat demokrasi.
Tingkat kepuasan rakyat yang seharusnya menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintahan justru dijadikan sebagai alat untuk membungkam kritik yang dilayangkan rakyat kepada pemerintah. Beruntungnya, kasus ini mendapat perhatian nasional sehingga B tidak sampai dimasukkan penjara. Justru sebaliknya, Gubernur Lampung mendapat cibiran keras dari masyarakat luas dan sindiran halus dari Presiden Jokowi saat melewati jalan yang rusak di Lampung.
Berkaca pada beberapa kasus di atas, sebenarnya bukan demokrasi yang tidak cocok dengan ideologi negara kita. Namun, para pejabat “nakal” tersebut yang tidak memahami hakikat demokrasi dan Pancasila. Demokrasi sejatinya telah sejalan dengan Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Kesetaraan kedudukan serta keterkaitan antar sila dalam Pancasila telah membantu mewujudkan demokrasi di Indonesia.
Lebih lanjut, keselarasan demokrasi dengan Pancasila dituangkan dalam sebuah sistem atau bentuk demokrasi yang menggabungkan nilai-nilai demokrasi dengan Pancasila, yaitu Demokrasi Pancasila. Kesepahaman prinsip maupun nilai antara demokrasi dan Pancasila tentunya dapat membawa perkembangan serta kemajuan bagi negeri ini. Maka dari itu, perlu adanya revolusi karakter pada masyarakat dan pemerintah Indonesia secara menyeluruh untuk memahami hakikat demokrasi dan Pancasila, agar nantinya Indonesia dapat menjadi sebuah negara seperti yang dicita-citakan rakyatnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.