Andhistya
Politik | Tuesday, 23 May 2023, 20:52 WIB
Peperangan adalah fenomena yang seolah-olah tidak pernah benar benar hilang dari muka bumi ini. Setiap harinya, pasti ada satu peradaban di muka bumi yang tengah berseteru dengan yang lain. Salah satu contoh “perang” yang paling terkenal yang kita semua tahu adalah Konflik Israel Palestina. Belum selesai konflik tersebut, pecahlah Perang Rusia-Ukraina sejak tahun 2022 lalu. Perang ini mempengaruhi arus globalisasi secara keseluruhan, dan memberikan implikasi yang nyata terhadap sektor perdagangan dunia.
Sejarah Perang Rusia Ukraina
Perang ini dimulai sejak tahun 2013, dimana Atok (2022) melaporkan bahwa Presiden Ukraina kala itu, Victor Yanukovich yang lebih memilih menerima bantuan dari Federasi Rusia ketimbang menandatangani kerjasama perjanjian perdagangan bebas dengan Eropa yang berakibat pada demonstrasi besar-besaran. Selain itu, perbedaan ideologi yang dimiliki oleh rakyat Ukraina Barat dengan Ukraina Timur, serta penggabungan Krimea ke Federasi Rusia setahun berikutnya, dan aneksasi Donbas di Ukraina tenggara memicu perang regional untuk pecah.
Sebaliknya, North Atlantic Treaty Organization (NATO) juga mulai menyatakan dukungannya untuk Ukraina. Rusia disisi lain tidak menyukai keberadaan NATO di wilayah Eropa Timur serta sifat ekspansionis mereka ke kawasan tersebut. Rusia tidak menyukai keberadaan NATO di Eropa Timur setelah Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia bergabung ke dalamnya. Padahal, Amerika Serikat (AS) sudah menjanjikan Rusia bahwa NATO tidak akan ekspansi ke kawasan Eropa Timur. Kedekatan Ukraina dengan NATO semakin memanaskan Rusia karena Ukraina terancam mengalami westernisasi akibat kedekatannya dengan NATO. Pada tahun 2018, Ukraina menjalankan latihan militer dengan NATO untuk pertama kalinya (Susetio et al, 2022).
Invasi berskala penuh terjadi pada tanggal 22 Februari 2022 setelah dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg dan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau (Fandy, n.d.). Susetio et al (2022) mengatakan bahwa selain serangan militer, terjadi juga serangan siber dan serangan informasi yang menghantam Ukraina. Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin mengatakan bahwa invasi Ukraina terjadi atas dukungan dari pemimpin kelompok separatis di Ukraina timur.
Dampak dan Implikasi Perang Ukraina Terhadap Ekonomi Indonesia
Arus globalisasi memungkinkan setiap negara untuk saling bertukar budaya atau komoditas tanpa batas. Secara tidak langsung, globalisasi juga membuat setiap negara agar saling melengkapi kebutuhan satu sama lain. Perang Ukraina Rusia adalah salah satu peristiwa dimana perekonomian Indonesia turut terdampak.
Di Ukraina sendiri, perang dengan Rusia mengakibatkan ekonomi negara tersebut untuk menyusut hingga 45%. Selain korban jiwa yang ditimbulkan, kerusakan pada infrastruktur, fasilitas publik, dan pemukiman juga turut membuat angka kerugian membengkak. Di Indonesia sendiri, dampak pada perang Rusia Ukraina yang paling nyata berada di perubahan harga gandum. Namun untungnya, saat ini perubahan harga tersebut belum begitu signifikan sebab produsen masih menyimpan bahan baku cadangan. Diperkirakan bahwa kelas menengah kebawah adalah kelas yang paling terpengaruhi oleh perubahan harga gandum beserta produk-produknya seperti roti, kue, dan mie.
Pemerintah Indonesia perlu melakukan beberapa langkah untuk mengamankan pasokan gandum dan minyak mentah selain dari Ukraina. Dua negara penghasil gandum terbesar dan masih berada di wilayah Asia yang dapat dilirik oleh pemerintah Indonesia adalah India dan China. Menurut laporan Binekasri (2022), India dan China masing-masing menghasilkan 1,8 miliar ton gandum serta 2,4 miliar ton gandum.
Kemudian untuk minyak mentah, pemerintah Indonesia bisa melihat cadangan minyak dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi. Kurniawan (2022) melaporkan bahwa Indonesia menghasilkan 743,000 barel minyak per hari pada tahun 2020. Dengan demikian, setidaknya ada substitusi komoditas yang beralih dari luar negeri menjadi hasil dalam negeri.
Terakhir, pemerintah juga perlu mengontrol inflasi dengan lebih kuat lagi sambil antisipasi kelangkaan komoditas impor seperti minyak bumi dan gandum seperti yang dijelaskan diatas tadi. Sebaliknya, alih-alih menggunakan cadangan minyak bumi dalam negeri, pemerintah Indonesia juga dapat mengeksplorasi berbagai sumber energi terbarukan seperti tenaga listrik untuk menutup kelangkaan cadangan minyak bumi.
Referensi
Atok, Fransiskus. (2022). Analisis Konflik Rusia dan Ukraina (Studi Kepustakaan Status Kepemilikan Krimea). Jurnal Poros Politik. Volume 4. No. 1 : 11-15.
Binekasri, Romys. (2022, 13 September). 10 Negara Penghasil Gandum Terbesar Di Dunia, Siapa Juaranya?. Retrieved from; https://www.cnbcindonesia.com/market/20220913085433-17-371559/10-negara-penghasil-gandum-terbesar-di-dunia-siapa-juaranya
Fandy. (n.d.) Garis Waktu dan Kronologi Penyebab Invasi Rusia ke Ukraina. Retrieved from; https://www.gramedia.com/literasi/invasi-rusia-ke-ukraina/#5_Eskalasi_21-23_Februari_2022
Kurniawan, Anto. (2022, 27 Agustus). 4 Negara Asia Penghasil Minyak Bumi Terbesar, Indonesia Urutan Berapa? Retrieved from; https://ekbis.sindonews.com/read/868015/34/4-negara-asia-penghasil-minyak-bumi-terbesar-indonesia-urutan-berapa-1661569733?showpage=all
Susetio et al. (2022). Perang Rusia-Ukraina: Mencari Keseimbangan Dunia Baru. Jurnal Abdimas. Volume 8. No. 5: 333-339.
Penulis : Andhistya Nugraha Yanottama
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.