ANTARIKSA — Saat Anda meluncur dengan pesawat terbang di atas selimut awan, pilar putih dan abu-abu terlihat lembut, halus, dan lebih ringan dari udara. Tapi jangan tertipu, awan yang tampak melenting itu jauh lebih berat daripada yang terlihat. Jadi seberat apa awan sebenarnya, dan bagaimana cara menimbang awan?
Awan sebagian besar terdiri dari udara dan jutaan tetesan air, yang terbentuk saat air mengembun di sekitar partikel “benih”. Partikel benih bisa apa saja, mulai dari asam nitrat hingga uap yang dikeluarkan oleh pohon, tetapi umumnya sangat kecil.
Ada beberapa cara untuk mengukur berat awan. Yang pertama, menimbang uap air yang menyusunnya, dan untuk melakukan itu, kita perlu mengetahui sesuatu tentang dimensi awan. “Anda juga harus tahu seberapa padat tetesannya,” kata ahli hidrologi di Universitas Arizona, Armin Sorooshian kepada Live Science.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Beberapa tahun lalu, Margaret LeMone, seorang ilmuwan atmosfer di National Center for Atmospheric Research di Boulder, Colorado, bertanya-tanya tentang berat rata-rata air di awan kumulus. Ia kemudian menghitungnya. Pertama, dia mengukur bayangan awan dan memperkirakan tingginya, dengan asumsi berbentuk kubus.
Awan biasanya tidak berbentuk kubus, tetapi awan kumulus seringkali tinggi dan lebar, sehingga asumsi ini membantu merampingkan perhitungan volume. Kemudian, berdasarkan penelitian sebelumnya, dia memperkirakan massa jenis tetesan air sekitar 1/2 gram per meter kubik. “Saya menghasilkan (berat awan kumulus) sekitar 550 ton (499 metrik ton) air,” kata LeMone.
Jumlah itu kira-kira seberat 100 gajah yang digantung di langit. “Ini sangat mengesankan,” kata Soroohsian.
Tentu saja, jenis awan yang berbeda memiliki bobot yang berbeda pula. “Misalnya, awan cirrus jauh lebih ringan karena memiliki air yang jauh lebih sedikit per satuan volume,” kata LeMone kepada Live Science. Kemudian, awan cumulonimbus (petir gelap yang Anda lihat tepat sebelum badai) cenderung jauh lebih berat.
“Namun, seluruh volume awan bukan hanya tetesan, ada udara juga,” kata Sorooshian. Jika seseorang ingin mengambil perhitungan LeMone selangkah lebih maju, mereka bisa memperhitungkan berat udara di antara setiap tetesan air.
Kenapa 100 ekor gajah tetap melayang?
Pertanyaan selanjutnya, jika awan begitu tebal, mengapa tidak jatuh? Menurut LeMone, salah satu alasannya adalah tetesan awan sangat kecil sehingga tidak jatuh terlalu cepat.
Rerata tetesan air di awan kira-kira 1 juta kali lebih kecil dari tetesan hujan, seperti rasio ukuran Bumi terhadap matahari. Arus angin di ketinggian meniup tetesan kecil awan, dan menahannya lebih lama di udara daripada jika statis.
Konveksi panas juga membantu menjaga tetesan kecil itu tetap tinggi. “Awan sebenarnya tidak sepadat udara di bawahnya,” kata Sorooshian. Saat udara hangat naik, ia menjadi lebih ringan daripada udara dingin di bawahnya, seperti lapisan busa di atas latte. Begitu juga yang terjadi pada air.
Tentu saja, awan bisa dikatakan jatuh dalam bentuk hujan. Ketika tetesan awan mendingin dan memadat satu sama lain, mereka tumbuh, akhirnya menjadi sangat berat sehingga jatuh ke Bumi. Meskipun tetesan hujan jauh lebih besar dari tetesan awan, setiap tetesan hujan hanya berdiameter 0,08 inci (2 milimeter). Tetesan kecil itu menyebarkan beban yang cukup sehingga 550 ton air atau 100 gajah tidak jatuh sekaligus ke kepala kita.
Jadi, lain kali saat Anda melihat awan kecil yang suka cita melintas di atas kepala, selalu ingat: itu 100 gajah. Dan kali ini, terima kasih pada konveksi panas yang menyebabkannya bukan bencana.