TPPO (Human Trafficking) dari Konvensi PBB ke UU No.21 Tahun 2007


Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas mengenai permasalahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Istana Merdeka, Jakarta. (FOTO: BPMI/Setpres/ Rusman)

KAKI BUKIT – Pada Akhir Mei 2023 Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas mengenai permasalahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden juga memerintahkan jajaran Kepolisian Republik Indonesia untuk menelusuri adanya dukungan bagi para penjahat perdagangan orang.

Usai rapat tersebut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md mengatakan, “Khusus di NTT sejak Mei sampai Januari saja sudah mencapai 55 orang mayat pulang karena perdagangan orang,” katanya.

Kepala BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) Benny Rhamdani kepada Presiden melaporkan, dalam satu tahun ada 1.900 mayat yang pulang ke Indonesia akibat TPPO.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menindaklanjuti Presiden tersebut, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat dengan membentuk Satgas TPPO Polri. Satgas ini bergerak di beberap daerah, hasilnya Polri berhasil mengungkap kasus TPPO.


Salah satunya di Lampung, pada 7 Juni 2023 Polda setempat berhasil menggagalkan pengiriman 24 perempuan asal Nusa Tenggara Barat (NTB) mereka diduga calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang menjadi korban TPPO. Korban ditemukan berada di sebuah rumah penampungan yang berlokasi di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kota Bandarlampung.

Polda Lampung kemudian menetapkan empat orang tersangka kasus TPPO terhadap calon pekerja migran indonesia (PMI) asal NTB tersebut. Para korban kini berada dalam penampungan sebelum dikembalikan ke daerah asalnya.

Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Lampung Agus Nompitu, Disnaker akan melakukan pendampingan kepada 24 orang korban TPPO tersebut. Para korban adalah perempuan juga ada pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengatasi trauma.

Agus Nompitu juga menjelaskan, para pelaku TPPO ini merupakan jaringan Arab, sebab korban akan dikirim dengan negara tujuan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. “Tahun 2022 lalu juga ada empat warga Lampung Timur jadi korban TPPO dari jaringan Malaysia karena mereka dijanjikan bekerja di Malaysia. Dua kasus TPPO ini modusnya sama, membujuk korban bekerja di luar negeri dengan dijanjikan mendapatkan pendapatan yang tinggi,” katanya.

Menurut Okky Chahyo Nugroho dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembanhgan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), TPPO atau perdagangan orang yang juga disebut human trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional. Kejahatan human trafficking kerap dijumpai di negara–negara berkembang yang memiliki jumlah populasi penduduk yang besar dengan perbandingan jumlah penduduk perempuan dan laki–laki yang tidak seimbang.

Dalam penelitiannya, “Tanggung Jawab Negara Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang” (2018), Okky Chahyo menjelaskan, yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan human trafficking ini adalah adanya kesenjangan ekonomi dengan banyak tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah yang biasanya berasal dari luar negeri.

Indonesia merupakan negara asal terbesar bagi korban perdagangan orang, baik bersifat domestik maupun lintas batas. International Organitation for Migration (IOM) mensinyalir sekitar 50 persen tenaga kerja Indonesia di luar negeri menjadi korban perdagangan orang.

Human trafficking atau perdagangan orang adalah kejahatan terorganisir. Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang memberikan akses kepada kejahatan tersebut menjadi terstruktur dan sistematis.

Masalah human trafficking adalah masalah yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan menjadi masalah negara-negara di dunia sejak dulu sampai sekarang. Untuk mengatasi ada beberapa konvensi internasional yang telah disepakati mengatur masalah ini.

Pertama, International Convention for The Suppression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional Untuk Menghapus Perdagangan Budak Kulit Putih) Tahun 1921. Kedua, International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children (Konvensi Internasional Untuk Menghapus Perdagangan Perempuan Dan Anak) Tahun 1921.





Source link