Teraspojok.com,
Oleh: Setyanavidita Livicansera
Redaktur Republika
Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi dan sosial media telah memperluas jangkauan interaksi manusia secara drastis. Namun, di balik kemajuan ini, ada juga fenomena yang memprihatinkan, yakni meningkatnya kasus bullying secara daring.
Data Unicef di 2022 mencatat bahwa 21 persen anak Indonesia berusia 13-15 tahun yang masuk ke dalam kategori Generasi Z kelahiran tahun 1996-2012 masih mengalami fenomena kekerasan ini.
Ironisnya, 45 persen dari mereka mengatakan bahwa bentuk kekerasan justru dilakukan oleh peer group atau teman-teman mereka di sekolah dalam bentuk cyberbullying via media digital sebagai pola yang dominan. Tidak hanya sekali, pola tersebut justru beberapa kali dialami anak dalam satu bulan, kemudian membentuk rutinitas yang kontinu dan dinormalisasi dalam realitas anak Indonesia.
Data UNICEF pada 2023, menambahkan terdapat 175 ribu anak yang menjadi pengguna baru internet setiap hari atau satu anak setiap detik. Di Indonesia sendiri, sebanyak 30 juta anak menjadi pengguna internet.
Teknologi memang telah memberikan platform yang lebih luas untuk interaksi sosial, namun juga membuka pintu bagi penyalahgunaan dan penindasan. Dalam konteks sosial media, anonimitas dan jarak fisik yang terjaga, juga dapat memperbesar risiko perilaku bullying.
Pengguna dapat dengan mudah menyebarkan pesan yang menyakitkan atau memalukan tanpa perlu menghadapi konsekuensi langsung. Selain itu, fitur-fitur seperti komentar anonim, pesan pribadi, dan grup diskusi yang tertutup memberikan ruang bagi tindakan bullying yang tidak terdeteksi secara publik.
Teknologi juga memungkinkan konten berbahaya atau merugikan untuk tersebar luas dengan cepat. Hal ini menciptakan lingkungan daring yang berpotensi berbahaya bagi individu yang rentan.
Sosial media kini menjadi platform utama di mana interaksi daring terjadi. Dalam lingkungan ini, tekanan untuk menyukai, mengomentari, atau berbagi konten tertentu dapat memicu perilaku kompetitif dan merugikan.
Selain itu, media sosial juga melahirkan filter bubble dan algoritma personalisasi dalam platform sosial media cenderung memperkuat pandangan dan opini yang sudah ada. Hal ini dapat menciptakan ekosistem di mana perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman dan dapat memicu perilaku bullying sebagai respons terhadap perbedaan tersebut.
Dengan makin tingginya perilaku bullying saat ini, penting bagi masyarakat untuk memahami dampak negatif dari perilaku bullying secara daring dan bagaimana teknologi dan sosial media dapat menjadi sarana untuk memperkuatnya. Pendidikan dan kesadaran tentang etika digital, empati, dan penggunaan yang bertanggung jawab sangat penting dalam menangani masalah ini.
Sekolah dan lembaga pendidikan harus melibatkan siswa dalam pembelajaran yang mempromosikan sikap yang inklusif dan pencegahan bullying. Ini termasuk mengajarkan keterampilan komunikasi yang sehat, pengelolaan konflik, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Selain itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, platform sosial media, dan organisasi masyarakat untuk mengembangkan kebijakan dan inisiatif yang mendorong lingkungan daring yang lebih aman dan ramah.
Regulasi tentu juga memainkan peranan penting dalam hal ini. Undang-undang dan kebijakan yang jelas tentang perlindungan data, privasi daring, dan penyalahgunaan platform sosial media dapat membantu mengurangi risiko perilaku bullying dan eksploitasi daring.
Pengawasan terhadap konten yang merugikan atau berbahaya juga perlu ditingkatkan, baik melalui kebijakan internal platform sosial media, maupun melalui kerjasama dengan badan penegak hukum. Langkah-langkah ini dapat membantu menghambat penyebaran konten yang merugikan dan memberikan perlindungan kepada individu yang rentan.