Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, memberikan tanggapan terhadap polemik pemilu legislatif sistem proporsional terbuka atau tertutup yang mencuat belakangan ini.
Pemilu proporsional terbuka menjadi perbincangan setelah dilontarkan Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang mengungkap sistem yang selama ini berlaku itu sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sistem di pileg ini sudah berlaku lama dan akan diterapkan di Pemilu Serentak 2024 jika tak ada perubahan.
Dalam proporsional tertutup, penentuan calon anggota legislatif di semua tingkatan akan menjadi kewenangan parpol; pemilih hanya mencoblos partai, bukan caleg. Hal ini berbeda dengan proporsional terbuka, pemilih akan mencoblos gambar/foto caleg.
Haedar mengatakan, berdasarkan amanat Muktamar ke-48 di Solo pada 19 November 2022, Muhammadiyah akan menunggu putusan MK terkait sistem pemilu yang bakal diterapkan di Indonesia.
"Sesuai dengan amanat kami muktamar, sistem pemilihan umum nanti menunggu keputusan dari MK," kata Haedar usai menerima jajaran KPU RI di kantor Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1).
"Tapi lebih dari itu bahwa kita berhadap tidak lagi ada pembelahan politik di tubuh bangsa ini," lanjut dia.
Haedar menuturkan, Muhammadiyah bersama KPU, partai politik, pemerintah hingga lembaga dan masyarakat harus bersatu agar tidak ada lagi polarisasi politik di Pemilu 2024.
Muhammadiyah juga mengimbau kepada seluruh elite politik untuk menciptakan suasana politik yang damai.
"Pastikan pemilu tidak lagi menciptakan kondisi untuk pembelahan bangsa. Termasuk imbauan kami kepada seluruh elite di negeri tercinta karena elite adalah teladan bangsa," tutup dia.
Usulan Tertutup atau Terbuka Terbatas
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menjelaskan dalam keputusan Muktamar ke-48, mereka mengusulkan agar sistem proporsional terbuka diganti dengan sistem tertutup.
Artinya, pemilih hanya memilih gambar parpol sedangkan nomor urut calegnya sudah ditetapkan oleh parpol. Namun, Abdul Mu'ti menyebut satu lagi opsi yang bisa dipertimbangkan adalah terbuka terbatas.
"Sebagaimana sistemnya yang pernah kita pakai, kita bisa memilih parpol atau memilih calon legislatif yang memang semua mengikuti ketentuan kalau memenuhi beberapa dia akan terpilih, tapi kalau tidak yang terpilih sesuai dengan nomor urut," kata Abdul Mu'ti.
"Sehingga dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu suara pemilih masih terakomodir dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," tambah dia.
Meski begitu, Abdul Mu'ti mengatakan, sama seperti keterangan Haedar, Muhammadiyah akan menunggu keputusan dari MK terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup.
"Semua keputusannya ada pada MK yang sekarang ini sedang mengkaji sistem pemilihan Pemilu, tapi memang kami menyampaikan ini bukan hanya sejak pertama 48, tapi ketika sidang kanwil 2014, Muhammadiyah telah menyampaikan usulan ini," kata Abdul Mu'ti.
Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD. Mereka adalah:
-
Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP)
-
Yuwono Pintadi (anggota Nasdem tapi NasDem sebut sudah bukan anggota)
-
Fahrurrozi
-
Ibnu Rachman Jaya
-
Riyanto
-
Nono Marijono
Dikutip dari website MK, para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
"Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai," ucap kuasa hukum pemohon, Sururudin, dikutip dari website MK, Selasa (3/1).
Sistem terbuka juga dianggap membuat biaya politik sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg yang mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.
Sumber: Kumparan