Menkumham Yasonna Laoly berharap rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lagi diperdebatkan publik. Ia menekankan, sudah saatnya Indonesia memiliki KUHP produk anak bangsa, bukan Belanda.
Usai menuai kontroversi pada 2019, RKUHP telah dikaji ulang dan direformulasi, hingga disahkan pada tingkat I di DPR pada Kamis (24/11) lalu. DPR menjadwalkan RKUHP disahkan dalam rapat paripurna besok, Selasa (6/12).
"Ini sudah 60 tahun, ini sudah dimulai pemikiran perbaikan ini. Malu kita sebagai bangsa masih memakai hukum Belanda. Enggak ada pride di diri kita sebagai anak bangsa. Saya, guru-guru saya, salah seorang yang saya hormati, banyak bekerja keras, sangat mendambakan UU ini disahkan," kata Yasonna di Gedung DPR, Senin (4/12).
"Jadi mari sebagai anak bangsa kita, apa ya [dukung]. Perbedaan pendapat sah-sah saja, ya kalau pada akhirnya nanti [masih ada yang tak disetujui] saya mohon gugat saja di mahkamah konstitusi. Lebih elegan caranya," imbuh dia.
Yasonna menegaskan RKUHP sudah dibahas dan disosialisasikan ke penjuru Tanah Air bersama stakeholders. Mulai dari Lembaga Bantuan Hukum, akademisi, mahasiswa, hingga pers.
"Kita sudah berkali-kali baik dengan LBH baik dengan Dewan Pers, dengan kampus. Kan presiden menginstruksikan tidak hanya kepada kami," terangnya.
"Ada beberapa lembaga, ada Kominfo, Polri, BIN kita sosialisasi ke beberapa daerah, kita tampung saja semua masukan dan ada perbaikan dan masukan-masukan masyarakat. Ada yang kita softing down ada yang kita lembutkan," jelasnya.
Yasonna mengakui bahwa RKUHP tak akan memuaskan semua pihak. Namun ia meminta ketidakpuasan ini tak disalurkan melalui penjegalan, melainkan lewat jalur hukum di Mahkamah Konstitusi.
"Kalau untuk 100 persen setuju tidak mungkin. Kalau pada akhirnya nanti masih ada yang tidak setuju, daripada kita harus memakai KUHP Belanda yang sudah ortodoks. Dalam KUHP ini banyak yang reformatif, bagus. Kalau ada perbedaan ya nanti kalau sudah disahkan, gugat aja di Mahkamah Konstitusi. Itu konstitusional," ujarnya.
"Kalau masih perbedaan pendapat ya itu biasa dalam demokrasi. Tetapi tidak berarti harus membajak sesuatu untuk membatalkannya," pungkas dia.
Sumber: Source link